Jumat, 12 November 2010

PERUBAHAN PARADIGMA PADA SISTEM EVALUASI


I.             Pendahuluan
Pendidikan saat ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari modernisasi. Prinsip-prinsip modernisme seperti efisiensi dan produktivitas terlihat dalam praktek-praktek pendidikan. Setiap hari kita mendengar tentang iptek dan pembangunan, dan melupakan humanisme. Dengan demikian, pendidikan hanyalah menjadi hamba, dan kehilangan fungsinya sebagai penuntun manusia.
Perubahan besar hanya bisa dilakukan melalui perubahan paradigma. Hal yang sama berlaku pada pendidikan. Untuk bisa membuat sebuah pembaharuan pendidikan yang benar-benar bermakna bagi kemanusiaan, kita tidak bisa melakukannya sekedar dengan mengubah kurikulum, apalagi kalau hanya dengan sekedar mengganti buku pelajaran. Tanpa perubahan paradigma, kita hanyalah melakukan sebuah proyek tambal sulam, yang tidak bermakna apa-apa.
Paradigma yang pertama adalah kesadaran sejarah (historical awareness). Kesadaran sejarah adalah sebuah kesadaran untuk menempatkan diri dalam ruang dan waktu saat ini. Ada dua dimensi dalam kesadaran ini yaitu dimensi ruang dan dimensi waktu. Dimensi ruang berarti kesadaran akan tempat di mana manusia berada. Manusia harus sadar akan relasinya dengan tempat di sekitarnya dan di mana tempatnya di dunia ini. Dimensi waktu berarti kesadaran akan masa di mana manusia berada. Kesadaran ini memberikan tahu dari mana manusia berasal dan bagaimana posisinya saat ini. Kesadaran yang utuh akan dapat menjawab pertanyaan tentang siapa aku dan di mana aku berada. Kesadaran ini memberikan identitas dan pijakan awal baginya. Dan yang paling penting adalah menumbuhkan sebuah pertanyaan di lubuk hati, “Kemanakah aku akan melangkah?”
Paradigma kedua adalah buku yang dipakai. Buku sendiri adalah merupakan catatan dari sejarah perkembangan peradaban manusia. Buku apa yang dipakai akan memberikan perspektif yang berbeda tentang dunia dan sejarahnya. Penganjur pendidikan, menyarankan untuk menggunakan “buku asli” ketimbang text-book. “Buku asli” adalah buku yang ditulis untuk menjelaskan sebuah ide, tidak seperti text-book yang dirancang untuk suatu tingkat dalam pendidikan. Buku jenis ini akan membuat kita berpikir, tidak seperti text-book yang memang didesain untuk menuntun kita. Dan yang terpenting adalah Kita akan dapat merasakan jiwa sang penulis di dalam buku yang ditulisnya.
Paradigma yang ketiga adalah peranan guru. Guru bukanlah menjadi seorang yang bertugas mencangkokkan sebuah pikiran kepada anak didik. Guru adalah seperti tukang kebun yang membersihkan, menyiangi, menyirami, bila perlu memberi pupuk untuk tunas-tunas muda di kebunnya. Guru yang baik haruslah menyediakan iklim yang baik bagi setiap anak didiknya supaya mereka dapat bertumbuh dengan baik. Guru adalah seorang pembimbing yang menuntun anak didiknya untuk menjadi dirinya sendiri. Hal ini adalah kesulitan sekaligus tantangan, karena setiap anak didik tidak dapat diperlakukan sama seperti halnya di dalam pendidikan massal saat ini.
Paradigma yang keempat adalah pelajaran itu sendiri. Pendidikan seharusnya tidak terbagi secara kaku ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran. Ketika sedang belajar sejarah misalnya, kita bisa saja sekaligus mempelajari kosa kata yang sulit, atau membuat time-line seperti pada garis bilangan dan menghitung kurun waktu beberapa kejadian. Pelajaran tidak harus dibagi secara ketat ke dalam mata pelajaran, melainkan ke dalam topik-topik. Topik-topik tersebut dapat disusun sedemikian rupa membentuk sebuah sistem yang mengintegrasikan semua bahan yang akan dipelajari.
Paradigma yang kelima adalah cara penilaian. Sistem penilaian saat ini terlalu menekankan pada kompetisi, dengan harapan menumbuhkan kreativitas. Efek lain dari kompetisi, yaitu mematikan potensi anak yang kalah bersaing, tidak terlalu diperhatikan. Penilaian dapat dilakukan dengan membuat portfolio, sebagai catatan akan apa yang telah dilakukan oleh anak didik selama masa tertentu. Isinya bisa berupa karangan, riset kecil-kecilan atau apa saja yang ingin dibuat olehnya. Jurnal pribadi juga dapat dimasukkan sebagai portfolio. jurnal pribadi adalah hasil-hasil dari pemikiran mereka setelah membaca sebuah buku, yang tentunya berbeda pada tiap orang. Sistem ini lebih menghargai potensi individual ketimbang sistem biasa yang menekankan standardisasi.
Yang menjadi kata kunci dari semua paradigma di atas adalah holistik, integralistik dan penghargaan individu. Pendidikan bukanlah sebuah kegiatan terpisah dari sebuah masyarakat yang mengkhususkan diri untuk mendidik. Pendidikan bukanlah sebuah spesialisasi melainkan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kemasyakatan. Sebagai akibatnya, seluruh anggota masyarakat sebenarnya adalah guru, dan pendidikan bukan hanya di sekolah. Tanggung jawab pendidikan bukan hanya di tangan Departemen Pendidikan dan guru-guru, melainkan di tangan kita semua terlebih di tangan orang tua.
Pengembangan pendidikan yang berbasis lokal akan melahirkan pluralisme. Orang nampaknya telah melupakan bahwa salah satu hal yang membuat species kita dapat bertahan adalah pluralisme. Kemajuan, hanyalah dapat muncul dalam pluralisme, di mana unsur-unsur yang berbeda dapat melakukan diskursus untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Dengan mengubah paradigma, untuk mengembalikan pendidikan ke fungsi asalnya, nampaknya peradaban ini masih punya harapan, khususnya dalam konteks Indonesia. Meskipun demikian dibutuhkan kerja keras dan komitmen untuk membuat sebuah perubahan berarti. Mengubah paradigma bukanlah pekerjaan yang dapat selesai dalam setahun dua tahun. Mengubah paradigma adalah pekerjaan yang dihitung dengan generasi. Apa lagi modernitas sudah tertanam begitu dalam di dalam diri kita berkat media audio visual yang menggaungkannya setiap jam.
1.1. Pengertian Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi
 Sebelum membahas tentang perubahan paradigma dalam evaluasi pendidikan terlebih dahulu kita lihat kembali apa pengertian tentang pengukuran, penilaian dan evaluasi.

Seseorang mengatakan “ nilai aljabarmu 8”, makna nilai pada kalimat tersebut mengandung arti khusus yaitu arti yang dikaitkan dengan standar penilaian yang berlaku, yang biasanya berkisar dari 1 sampai dengan 10. Jadi pernyataan tersebut mengandung makna penilaian yang sebelumnya telah dilakukan pengukuran yang dinyatakan dengan bilangan.
Apakah penilaian itu harus selalu didahului oleh pengukuran? Jawabnya ialah tidak perlu. Pada pengukuran, hasil pengukuran itu selalu dinyatakan dengan bilangan. Bila hasil pengukuran itu dikaitkan dengan norma (standar yang belaku) maka timbullah istilah penilaian. Akan tetapi penilaian sendiri tidak usah selalu dimulai dengan pengukuran. Terdapat istilah yang dengan pengukuran dan penilaian itu sering terkacaukan, yaitu evaluasi. Perhatikan contoh berikut andaikan nilai aljabar anak diatas pada masa sebelumnya itu kurang dari 8. Maka gurunya bisa mengatakan lebih lanjut sebagai berikut “ Dalam aljabar, kamu telah mengalami kemajuan.” Pernyataan tersebut tidak saja mengandung penilaian pada saat tertentu, tetapi penilaian suatu proses. Penilaian semacam itu telah menjamah evaluasi. Evaluasi itu tidak hanya berbicara mengenai keberhasilan siswa belajar, tetapi juga dapat mengenai pengajaran program. Dengan demikian ada evaluasi keberhasilan siswa belajar, ada evaluasi keberhasilan pengajaran, dan ada evaluasi keberhasilan program.
1.2. Bedanya antara penilaian dan evaluasi.
Pada penilaian, kita hanya ingin melihat nilai suatu berdasarkan standar tertentu yang digunakan untuk kepentingan individu siswa dan atau untuk kepentingan perbandingan dengan individu lain. Sedangkan pada evaluasi kita tidak hanya berhenti disitu, tetapi berusaha untuk menjawab pertanyaan lebih lanjut : termasuk dalam kategori apa nilai itu, mengapa nilainya demikian, berhasil dan ada kemajuankah ia belajar? dsb.
1.3 Fungsi Penilaian
Fungsi Penilaian adalah memberi gambaran mengenai sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat atau pengambil keputusan. Gambaran itu dapat diperoleh melalui tes, non tes, pengamatann dll. Dalam melakukan penilaian terdapat empat faktor yang perlu diperhatikan : kriteria, standar, indikator, dan kredibilitas ( alat ukur dan ukuran harus dapat dipercaya). Seandainya keempat syarat tidak terpenuhi maka keabsahan penilaian itu diragukan akibatnya antara penilai dan yang dinilai sering terjadi ketidaksepahaman.
Baik tidaknya suatu pengajaran, misalnya pengajaran matematika bisa dilihat dari hasil ulangan siswa. Hasil ulangan yang biasanya ditulis dengan angka atau huruf adalah produk dari keberhasilan siswa belajar. Selain dinyatakan dengan produk, hasil belajar siswa dapat pula dinyatakan dengan prosesnya. Maksudnya ialah nilai yang diberikan kepada siswa  itu bukan karena benarnya jawaban akhir siswa dalam menjawab pertanyaan tetapi karena benarnya cara yang siswa lakukan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penilaian yang menekankan pada proses saja atau pada produk saja itu adalah penilaian ekstrim. Sebab penilaian yang baik itu adalah penilaian yang memperhatikan berbagai aspek; aspek hasil dan aspek proses, kedua-duanya harus diperhatikan.
Proses yang harus ditempuh oleh seorang guru dalam penguasaan penilaian keberhasilan siswa belajar itu adalah sebagai berikut :
1)      Guru harus memahami tujuan pendidikan nasional, tujuan institutional, dan tujuan kurikuler tingkat sekolah dimana ia mengajar.
2)      Guru harus mampu merumuskan tujuan pengajaran beserta merakit soal-soalnya.
3)      Guru harus bisa mencobakan soal-soal yang telah dirakitnya dan memperbaikinya.
4)      Disamping menyelenggarakan tesnya, ia juga harus dapat memeriksa pekerjaan siswa dan menulis hasilnya dalam bentuk formal, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Paradigma baru pendidikan matematika, menghendaki dilakukan inovasi yang teritegrasi dan berkesinambungan. Salah satu wujudnya adalah inovasi yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Kebiasaan guru dalam mengumpulkan informasi mengenai tingkat pemahaman siswa melalui pertanyaan, observasi, pemberian tugas dan tes akan sangat bermanfaat dalam menentukan tingkat penguasaan siswa dan dalam evaluasi keefektifan proses pembelajaran.
Informasi yang akurat tentang hasil belajar, minat dan kebutuhan siswa hanya dapat diperoleh melalui asesmen dan evaluasi yang efektif. Penilaian yang biasa digunakan dalam sistem pendidikan kita melalui deskripsi kuantitatif, yaitu tes (tertulis) sepertinya kurang sesuai dilaksanakan.
Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus akan memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. KBK merupakan pergeseran paradigma dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan berorientasi hasil atau standar (out come-based education).
Dari tahun ke tahun materi maupun model penilaian (mestinya) telah terjadi perubahan. Bila pada kurikulum-kurikulum sebelumnya, materi penilaian berfokus pada materi bahan ajar sedangkan saat ini, materi penilaian berfokus pada kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh siswa. Dengan demikian, maka bila beberapa tahun yang lalu guru hanya mengandalkan "paper and pen" dalam penilaian, saat ini (mestinya) guru telah melakukan penilaian dengan berbagai cara

II.          Perbandingan Sistem Evaluasi Behavioristik dan Konstruktivistik

2.1.   Sistem Evaluasi Lama (Behavioristik)
Paradigma behavioristik memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan terstruktur rapi, belajar adalah pemerolehan pengetahuan, mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) dan diharapkan pengetahuan atau pemahaman siswa sama dengan pengetahuan atau pemahaman gurunya. Paradigma ini juga memandang bahwa segala sesuatu di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur. Orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan yang jelas dan ditetapkan dengan ketat. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakkan disiplin. Ketidakmampuan dalam menambah pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, sebaliknya keberhasilan sebagai perilaku yang pantas mendapat hadiah, taat pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar, dan kontrol belajar dipegang oleh sistem yang berada di luar diri si belajar.
Tujuan pembelajaran dalam paradigma behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, belajar sebagai aktivitas yang menuntut siswa mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari.
Strategi pembelajaran dalam paradigma behavioristik menekankan pada ketrampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan, pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan menekankan pada kemampuan dan ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks tersebut. Evaluasi pembelajaran dalam paradigma behavioristik sering bersifat pasif, terpisah, menuntut satu jawaban benar, dan evaluasi sering dilakukan setelah selesai kegiatan belajar.

2.2         Sistem Evaluasi Baru (Konstruktivistik)
Sementara paradigma konstruktivistik memandang bahwa pengetahuan adalah non-objektif, bersifat temporer, berubah dan tidak menentu, belajar dimaknai menyusun pengetahuan dari pengalaman konkrit, reflektif dan interpretatif, mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna dan menghargai ketidakmenentuan. Pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman, prespektif dan interpretasi si belajar. 
Paradigma konstruktivistik juga memandang bahwa belajar harus bebas. Hanya di alam dan suasana kebebasan peserta didik dapat mengungkapkan makna sebagai hasil dari interprestasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dan penentu keberhasilan belajar, dan siswa adalah subjek yang mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar, serta kontrol belajar dipegang oleh siswa.
Paradigma konstruktivistik tentang tujuan pembelajaran menekankan pada belajar bagaimana belajar, yakni menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif dan produktif dalam kontek nyata, mendorong siswa untuk berfikir, berfikir ulang, dan mendemonstrasikannya. Pada konstruktivistik menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan ke bagian, pembelajaran lebih diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa, aktivitas belajar menekankan pada ketrampilan berfikir kritis, analitis, dan prediktif.
Evaluasi pembelajaran dalam paradigma konstruktivistik menekankan pada penyusunan makna secara aktif, melibatkan ketrampilan terintegrasi dalam kontek nyata, menggali munculnya berfikir divergen, multi solution, dan evaluasi sebagai bagian utuh dalam proses pembelajaran
Implikasi teori konstruktivistik terhadap pembelajaran dan evaluasi:
1. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru
         Dorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari
         Dorong munculnya berpikir divergent, bukan hanya satu jawaban benar
         Dorong munculnya berbagai jenis luapan pikiran/aktivitas
         Tekankan pada keterampilan berpikir kritis
         Gunakan informasi pada situasi baru

2. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar
         Sediakan pilihan tugas
         Sediakan pilihan cara memperlihatkan keberhasilan
         Sediakan waktu yang cukup memikirkan dan mengerjakan tugas
         Jangan terlalu banyak menggunakan tes yang telah ditetapkan waktunya
         Sediakan kesempatan berpikir ulang
         Libatkan pengalaman konkrit

3. Strategi belajar yang digunakan menentu-kan proses dan hasil belajarnya
         Berikan kesempatan untuk menerapkan cara berpikir dan belajar yang paling cocok dengan dirinya
         Berdayakan melakukan evaluasi diri tentang cara berpikirnya, cara belajar, atau lainnya

4. Motivasi dan usaha mempengaruhi belajar dan unjuk-kerja
         Motivasilah dengan tugas-tugas riil dalam kehidupan sehari-hari dan kaitkan tugas dengan pengalaman pribadi
         Dorong  untuk memahami kaitan antara usaha dan hasil

5. Belajar pada hakekatnya memiliki aspek social dan kerja kelompok sangat berharga
         Beri kesempatan untuk melakukan kerja kelompok
         Dorong untuk memainkan peran yang bervariasi
         Perhitungkan proses dan hasil kerja kelompok

III.       Mengapa harus merubah paradigma?
Setelah melihat  perbandingan perbedaan antara paradigma behavioristik dan konstruktistik tampaknya memang sangat perlu adanya perubahan paradigma mengingat tuntutan-tuntutan sebagai berikut:

1.            Persaingan Global
Dalam era globalisasi yang kompetitif ini, terutama dalam dunia pendidikan mutlak diperlukan manusia yang kreatif, inovatif, produktif dan mampu beradaptasi dengan perubahan. Contoh, setiap Pengelola Sekolah pasti mempunyai mimpi, bahwa suatu saat sekolah yang dikelolanya akan menjadi sekolah yang unggul disamping sumber daya manusia yang berkwalitas tinggi. Tapi umumnya, beberapa waktu kemudian para pengelola tersebut menjadi kecewa karena ternyata apa yang di inginkannya tidak menjadi kenyataan.Visi dan misi sekolah baru sebatas hiasan dinding. Indikator keberhasilan sekolah hanya sekedar pajangan Sasaran dan kebijakan sekolah cuma slogan semata.
2.      Keperluan  Matematika dan Penggunaan Matematika dalam kehidupan sehari-hari
Terkait dengan rasa apriori berlebihan terhadap matematika ditemukan beberapa penyebab fobia matematika di antaranya adalah yang mencakup penekanan belebihan pada penghafalan semata, penekanan pada kecepatan atau berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses belajar-mengajar matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Oleh sebab itu, untuk mengatasi hal ini, peran guru sangat penting. Karena begitu pentingnya peran guru dalam mengatasi fobia matematika, maka pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika sebelumnya, pengajaran matematika terfokus pada hitungan aritmetika saja, maka saat ini, guru-guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan menggunakan logika matematis.

Sekedar diketahui bahwa matematika bukan hanya sekadar aktivitas penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian karena bermatematika di zaman sekarang harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup modern. Karena itu, materi matematika bukan lagi sekadar aritmetika tetapi beragam jenis topik dan persoalan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari.

3.            Penggunaan Intelengensi dalam Kehidupan
         Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup "metakognisi" atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri.

4.            Masyarakat Dituntut Mampu Menggunakan Teknologi Informasi
         Perlu mengembangkan dan melengkapi sarana /prasana teknologi informasi bagi sekolah dan lembaga pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan internet akhir-akhir sudah menggurita dalam setiap aktifitas bisnis. Sehingga mau tidak mau, kita harus ikut berperan di dalamnya. Selain akses yang mudah dan murah, juga informasinya cepat dan akurat. Penetrasi pendidikan yang murah, cepat dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat akan dapat tercapai lebih awal.
5.            Pemahaman Tentang Cara Belajar Siswa Berubah
Pemahaman guru bagaimana mengelola pembelajaran di kelas selama ini cenderung menganut paradigma behavioristik dimana behavioritik memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan terstruktur rapi, belajar adalah pemerolehan pengetahuan, mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) dan diharapkan pengetahuan atau pemahaman siswa sama dengan pengetahuan atau pemahaman gurunya. Sementara pemahaman tentang siswa belajar sekarang telah bergeser kepada paradigma konstruktivistik yang memandang bahwa pengetahuan adalah non-objektif, bersifat temporer, berubah dan tidak menentu, belajar dimaknai menyusun pengetahuan dari pengalaman konkrit, reflektif dan interpretatif, mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna dan menghargai ketidakmenentuan. Pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman, prespektif dan interpretasi si belajar.

Sejalan dengan perubahan paradigma tentu ini berimplikasi pada perubahan evaluasinya juga karena evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan. Sejak dilaksanakannya pengajaran matematika (modern) disekolah kita pada sekitar awal tahun 70-an, tujuan pengajaran matematika itu sebenarnya lebih berorientasi kepada proses dari pada kepada hasil begitu pula kegiatan belajar siswa sebenarnya telah dipesankan agar mereka itu belajar aktif. Tetapi mungkin karena diterapkanya PPSI ( Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) maka pengajaran semua bidang studi disekolah, lebih berorientasi kepada hasil dari pada kepada proses. Begitu pula CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang dicanangkan sejak permulaan tahun 80-an, kegiatannya terbunuh oleh sistem penilaian kita (EBTA,EBTANAS, SIPENMARU)
Berbagai metode pembelajaran yang menekankan kreativitas dan kritis, seperti cara belajar siswa aktif atau problem base learning, sulit berhasil karena cara evaluasinya belum sesuai di lapangan. Selama ini anak cenderung ditagih daya ingatnya. Alhasil, guru pun sibuk memberikan berbagai masukan yang harus dihafalkan. Murid tidak pernah diajar untuk belajar, tetapi cenderung berlatih menjawab tes. Padahal, yang diperlukan adalah evaluasi untuk melihat bagaimana anak berproses. Tagihan tersebut terkait kreativitas, praktik, dan evaluasi menggunakan portofolio untuk melihat hasil kerja siswa, bukan yang diingat siswa.
Perwujudan pola pembelajaran dan pendidikan demokratis dapat dimulai dengan mengubah salah satu komponen penting pendidikan, yakni evaluasi. Evaluasi tidak cukup lagi hanya menagih daya ingat, tetapi harus juga menggali bagaimana anak berproses dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Pendidikan dan pembelajaran selama ini dinilai kurang demokratis. Peserta didik tidak diberi ruang untuk berimajinasi dan berkreasi. Peserta didik cenderung hanya menjadi obyek dan diposisikan tidak tahu apa-apa sehingga harus dijejali sesuai kemauan guru. "Kalau ingin anak-anak lebih kreatif, misalnya, tidak perlu soal pilihan ganda. Tes lebih ditekankan pada mengembangkan materi yang diterima di kelas. Berikan satu kata untuk dijadikan satu karangan atau satu bentuk untuk dijadikan gambar utuh. Intinya, membangun sesuatu dengan bahan terbatas dan eksplorasi," katanya.
Perubahan model evaluasi tidak otomatis mengubah wajah pendidikan di dalam kelas, tetapi paling tidak akan sangat memengaruhi suasana pendidikan. Sebab, sistem evaluasi merupakan komponen penting dalam proses belajar-mengajar di kelas.
"Sebaik apa pun metodologi yang digunakan, kalau kita tak siap akan sisa-sia,"
Dasar pemikiran yang dipakai untuk mengganti kurikulum adalah untuk menyesuaikan dengan perubahan dalam kehidupan masyarakat, bangsa,dan negara serta perkembangan ilmu dan teknologi agar lembaga pendidikan mampu menyiapkan peserta didik supaya mampu bersaing menghadapi tantangan hidup yang kompleks.
KBK memberdayakan semua peserta didik secara demokratis dan berkeadilan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. KBK juga terpusat pada anak, Maksudnya, penyajian disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik melalui pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam rangka pencapaian usaha tersebut.
Ide lahirnya KBK didasarkan pada pemikiran bahwa bakat dan kemampuan peserta didik pada tiap jenjang dalam satuan pendidikan berbeda-beda sehingga diperlukan suatu kurikulum yang memungkinkan setiap anak didik memiliki kompetensi dasar sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing. Kurikulum lama dianggap telah tidak memadai lagi untuk mencapai tujuan pendidikan modern.  Pada dasarnya kurikulum ini hanya dilihat sebagai acuan dasar yang harus diterjemahkan lebih jauh oleh guru dengan melihat potensi masing-masing anak. Guru bertindak sebagai fasilitator dengan siswa sebagai subyek. Siswa harus aktif mempresentasikan ide-idenya, mencari solusi atas masalah yang dihadapi dan menentukan langkah-langkah yang harus diambilnya.
Perlu disadari bahwa KBK menuntut adanya perubahan paradigma dari guru. Guru tidak lagi bertumpu pada paradigma lamanya dimana dirinya sebagai pusat kegiatan dan tujuan perubahan. Tidak ada lagi kegiatan 'talk and chalk' dan siswa hanya 'sit, listen, and quote'. Ada perubahan mendasar pada konsep, metode dan strategi dalam mengajar termasuk assesmentnya. KBK menuntut guru untuk familiar dengan teknologi informasi, dapat mengakses internet, akrab dengan ilmu pengetahuhan, teknologi dan seni, memahami hubungan antara bidang studinya dengan bidang studi lannya dan terutama adalah penerapannya dalam kehidupan nyata.
Guru-guru masih terjebak pada filosofi dan pendekatan lamanya. Hal ini nampak jelas pada evaluasi yang mereka lakukan. Evaluasi yang digunakan oleh para guru dilapangan masih berpedoman pada paradigma lama yang hanya mengukur kemampuan kognitif dengan bentuk-bentuk evaluasi yang hampir tidak berubah sama sekali dengan kurikulum sebelumnya. Padahal evaluasi pada kurikulum 1994 dengan KBK jelas ada perbedaan, seperti pada tabel berikut.

ASPEK
KURIKULUM 1994
KTSP
Penilaian Pembelajaran
  • Menggunakan acuan norma
  • Menekankan pada kemampuan kognitif
  • Bahan Penilaian didasarkan pada tujuan per kelas dan per semester
  • Keberhasilan siswa diukur dan dilaporkan berdasarkan perolehan nilai yang dapat dibandingkan dengan nilai siswa lainnya.
  • Menggunakan acuan patokan
  • Mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
  • Bahan penilaian didasarkan pada materi essensial yang bener-benar relevan dengan kompetensi yang harus dicapai.
  • Keberhasilan siswa diukur dan dilaporkan berdasarkan kompetensi tertentu yang dicapai tiap siswa dan tidak dibandingkan dengan hasil belajar siswa lain.

Seperti yang dikatakan oleh Bagong Suyanto, Ketua Komisi Litbang Dewan Pendidikan Jawa Timur :"Penilaian yang berorientasi pada hasil daripada proses ini, sedikit banyak menyebabkan orientasi siswa menjadi bersifat karbitan, cenderung ingin hasil yang instan, dan ujung-ujungnya yang lahir adalah mental potong kompas: bukan sesuatu yang substansial. implikasi dari model penilaian prestasi belajar siswa semacam ini sebetulnya rawan, menyebabkan terjadinya kualitas pembelajaran menjadi stagnan, bahkan kontra-produktif."
Atau seperti yang disampaikan oleh Y Priyono Pasti, Kepala SMA Santo Fransiskus Asisi Pontianak :" Bagaimana mungkin pendidikan kita akan melahirkan generasi muda yang militan, beretos kerja tinggi, siap menghadapi tantangan global, dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain ketika proses pembelajaran di sekolah hanya menghamba pada kurikulum, mengabdi pada UN, berkutat pada bagaimana mengerjakan soal-soal dalam LKS/PR, dan menghafal soal-soal dan kunci-kunci jawaban UN yang melecehkan itu? Bukankah UN hanya mengukur pencapaian prestasi akademik siswa terhadap sejumlah tujuan instruksional? Bagaimana dengan prestasi non-akademik yang telah mereka raih?'" Pertanyaan yang sulit untuk kita jawab. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebetulnya sudah sangat jelas mengatur bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik (baca: guru) untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Berpegang kuat pada prinsip teoritis di atas, pihak curriculum designer merasa yakin bila hal tersebut dilakukan dengan benar, tujuan untuk membentuk manusia cemerlang bisa terwujud. Namun, pada kenyataannya penerapan dari kedua kurikulum tersebut (1984 dengan CBSA dan 1994 dengan azas kebermaknaan) tidak dapat memuaskan tujuan tersebut

IV.             Masalah yang Dihadapi
1.                  Kesulitan utama pada guru-guru adalah ketidakpahaman mereka mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluasi. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assesment lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang cognitive-based semata.
2.                  Untuk mewujudkan idealisme dalam penilaian guru menghadapi kendala dengan adanya berbagai keterbatasan. Baik itu keterbatasan dirinya sebagai bagian dari institusi maupun sebagai pribadi. Sebagai bagian dari institusi sekolah, guru tidak akan dapat mengelak untuk tetap melaksanakan evaluasi sesuai tuntutan idealisme. Berarti guru harus lebih banyak waktu maupun tenaga untuk memperhatikan siswanya secara individual dengan jumlah siswa setiap kelas tidak kurang dari 40 orang, belum lagi jumlah kelas pararel yang harus diampunya. Tentulah hal ini bukan hanya melelahkan, tetapi juga akan berdampak kepada intensitas dan keajegan dalam mengelola kelas menjadi tidak dapat dipertahankannya lagi untuk memperoleh hasil penilaian seobjektif dan seadil mungkin.
3.                  Pola supervisi akademik yang selama ini diterapkan ikut berperan dalam carut marut pemberdayaan guru. Apakah orang-orang yang ditunjuk melakukan pembinaan benar-benar kompeten dalam melaksanakan tugasnya dan menyesuaikan konten tugasnya dengan permasalahan yang dihadapi oleh peserta pembinaan tersebut? Dan apakah sistem yang digunakan sudah cukup bagus dalam memenuhi kebutuhan pengembangan/peningkatan mutu pengajaran? Tak pelak lagi, guru lebih terkonsentrasi pada pemenuhan kelengkapan administrasi dari pada peningkatan mutu pengajaran untuk mengejar karir mereka.
4.                  Banyak teori yang dicurahkan kepada para guru, tetapi setelah selesai pelatihan dan guru ingin menerapkannya di sekolah justru dianggap keluar jalur.

V.                Kesimpulan
1.                  Seiring dengan perubahan paradigma pendidikan, proses belajar mengajar dikelas harus berubah sesuai dengan paradigma baru agar dapat memenuhi tuntutan jaman dan globalisasi , tetapi metode belajar sebagus apapun jika cara evaluasinya masih menggunakan paradigma lama juga tidak akan berhasil. Jadi dalam sistem evaluasipun perlu mengikuti paradigma baru.
2.                  Karena KBK merupakan pergeseran paradigma dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan berorientasi hasil atau standar (out come-based education) maka sistem evaluasi KBK akan sesuai apabila diterapkan di sekolah. Hal ini juga sesuai dengan apa yang ditetapkan pemerintah dalam Standar Penilaian Pendidikan.



Daftar Pustaka
  1. Depdiknas.2004. KBK Matematika SMP. Jakarta. Depdiknas
  2. Rusefendi. 1991. Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa khususnya dalam Belajar Matematika. Bandung. IKIP Bandung.
  3. Aswandi.2008. Pergeseran Paradigma Pembelajaran
  4. Nyoman .S. Degeng. 2008. Perubahan Paradigma
  5. Tarsudi. 2008. Memandang KBK Komprehensif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar